Secara tidak sadar mayoritas generasi muda rajin belajar agar segera
lulus dan diterima untuk bekerja menjadi pegawai baik negeri maupun
swasta. Para pelajar bersusah payah belajar untuk menjadi pintar, untuk
menjadi yang terbaik, dan akhirnya akan cepat mendapat pekerjaan.
Padahal kebanyakan dari mereka belum dapat memahami apa esensi dari
setiap mata pelajaran yang mereka pelajari serta belum dapat memahami
bagaimana aplikasi pelajaran yang mereka peroleh selama sekolah untuk
bekerja, apalagi untuk mengembangkan diri dan masyarakatnya. Suatu
setting yang perlu diperbaiki dari pendidikan kita. Tidak ada yang salah
dengan hal tersebut, bila memang pemerintah selalu mampu menyediakan
lapangan pekerjaan bagi para lulusan untuk bekerja. Masalah akan muncul
ketika para pelajar yang telah lulus atau sarjana di negeri ini mencari
pekerjaan, dan tidak mendapatkannya. Jumlah lulusan perguruan tinggi di
Indonesia semakin lama semakin meningkat, akan tetapi tidak dibarengi
oleh munculnya lapangan pekerjaan. Maka yang terjadi adalah semakin
tinggi pula angka sarjana pengangguran di Indonesia.
Secara lengkap wirausaha dinyatakan oleh Joseph Schumpeter sebagai
orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan
barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru
atau mengolah bahan baku baru (Anonim[4], 2008).
Indonesia membutuhkan orang-orang yang mendobrak sistem ekonomi melalui
kegiatan kewirausahaan untuk mengelola sumber daya yang ada di Indonesia
untuk kemakmuran diri dan masyarakat di sekitarnya. Untuk mendapatkan
generasi muda yang mempunyai semangat kewirausahaan tinggi, maka
diperlukan sistem pembinaan kewirausahaan yang tepat. Sistem pembinan
itu dimanifestasikan dalam bentuk kurikulum pendidikan yang mempunyai
konsep pembelajaran terintegrasi sejak anak didik duduk di bangku
sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bila anak didik mulai sekolah
dasar hingga perguruan tinggi diberikan materi kewirausahaan secara
terintegrasi, niscaya generasi masa depan akan berparadigma
kewirausahaan pula. Hal ini akan berdampak pada menurunnya tingkat
ketergantungan generasi muda untuk mengandalkan lapangan pekerjaan yang
disediakan oleh pemerintah, sehingga akan berdampak pula pada menurunnya
angka pengangguran.
Keadaan diperburuk dengan pola pengajaran pada lembaga-lembaga
pengajaran di Indonesia yang cenderung mengarahkan peserta ajar untuk
sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan
agar hasil ujiannya baik (Razali-Ritonga, 2008). Budaya pendidikan di
Indonesia yang bersifat ”guru memberi, murid menerima” atau ”guru
memerintahkan, murid melaksanakan” turut mendukung keterpurukan sistem
pendidikan. Masalah yang sering terjadi adalah, selama proses belajar
mengajar, para guru memotivasi muridnya agar rajin belajar, banyak
menghapal, mendapat nilai bagus dalam ulangan, menjadi pintar, agar
ketika lulus cepat mendapat pekerjaan . Akibat yang ditimbullkan dari
budaya pendidikan yang demikian itu adalah pembentukan karakter siswa
yang pasif, tidak dapat mengembangkan pikiran, bermental kuli
(mengerjakan sesuatu harus dengan perintah), dan akhirnya ketika lulus
dari sekolah berorientasi menjadi pegawai. Ketika visi dan misi telah
jelas, sistem telah rampung, dan semua perangkat pendidikan sudah siap,
maka pendidikan Indonesia akan memiliki wacana baru masa depan yakni
sebagai ujung tombak solusi berbagai permasalahan bangsa ini. Diharapkan
keluaran dari pendidikan Indonesia mampu menjadi para solution maker
untuk bangsanya, bukan problem maker.
Membangun kurikulum pendidikan yang bervisi kewirausahaan dan
menghasilkan luaran yang diharapkan tidak mudah. Menghasilkan luaran
yang andal dan dapat diandalkan harus dilakukan secara terintegrasi
sejak bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Kemauan dan
kemampuan setiap generasi muda harus dibangun dan dilatih dengan konsep
pembelajaran yang berkesinambungan. Untuk mecapai hal tersebut konsep
pendidikan dan pelaksanaannya dapat diadopsi dari kurikulum-kurikulum
terdahulu yang telah dilaksanakan di Indonesia. Konsep pembelajaran
Kurikulum Pendidikan bervisi kewirausahaan dapat diadopsi dari kurikulum
1968, yaitu correlated subject curriculum, yang berarti materi
pelajaran pada tingkat bawah mempunyai korelasi dengan kurikulum sekolah
lanjutan. Pembelajaran kewirausahaan diawali dengan memberikan
pengetahuan dasar tentang kewirausahaan di tingkat sekolah dasar yang
selanjutnya dikembangkan sesuai tataran pendidikannya.
Pelaksanaanya dapat diadopsi dari kurikulum 1994 yaitu Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA). Kurikulum tersebut membimbing siswa agar mampu
mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Sedangkan
luaran yang ingin dicapai dalam Kurikulum Pendidikan Bervisi
Kewirausahaan ini dapat diadopsi dari Kurikulum Berbasis Kompetensi,
yaitu setiap peserta didik mempunyai kompetensi yang standar dan dapat
diandalkan oleh pemerintah. Proses untuk mencapai kompetensi itu adalah
“learning to know, learning to do, learning to live together, dan
learning to be”.
Gagasan kurikulum kewirausahaan dipandang menjadi salah satu solusi
untuk mengurangi banyaknya pengangguran dan perlu diterapkan di
Indonesia, maka pemerintah dapat memilih beberapa alternatif dalam
pelaksanaannya. Alternatif yang dapat ditempuh antara lain :
1. Memberikan jam khusus untuk kegiatan kewirausahaan dengan memasukkan
kewirausahaan sebagai mata pelajaran wajib yang harus ditempuh.
2. Memberikan hari khusus, yaitu Hari Sabtu untuk kegiatan kewirausahaan.
3. Memasukkan materi kewirausahaan ke beberapa materi pelajaran yang relevan.
4. Menyelenggarakan ekstrakulikuler wajib berupa kewirausahaan di setiap sekolah.
Masing-masing alternatif tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya
apabila diaplikasikan, sehingga perlu kajian yang lebih mendalam untuk
memilih alternatif terbaik. Sebagai referensi, dapat digunakan
kurikulum-kurikulum terdahulu yang pernah berlaku di Indonesia.
Konsekuensi diberlakukannya rencana pembelajaran kurikulum pendidikan
kewirausahaan seperti yang telah dikemukakan di atas adalah penurunan
jumlah pertemuan bagi mata pelajaran lain setiap minggunya. Hal tersebut
justru dapat dipandang sebagai sesuatau yang positif, yaitu untuk
menyederhanakan kurikulum mata pelajaran lain, yang dipandang terlalu
banyak / kompleks. Kurikulum yang saat ini berlaku di Indonesia (KTSP),
disadari atau tidak, banyaknya materi yang harus dikuasai akan
menumbuhkan rasa malas bagi siswa untuk bersekolah. Dengan berkurangnya
muatan pelajaran yang harus dipelajari anak didik yang selama ini
dianggap memberatkan, dan diganti dengan kegiatan kewirausahaan,
diharapkan akan mampu menumbuhkan semangat anak untuk bersekolah.
Semangat sekolah anak didik yang tinggi, potensial untuk menghasilkan
luaran yang baik pula.
Kurikulum pendidikan kewirausahaan akan merubah keadaan Bangsa
Indonesia saat ini, di mana kondisi Bangsa Indonesia sudah memiliki
terlalu banyak pencari kerja dan terlalu sedikit pencipta kerja. Luaran
yang diharapkan dari kurikulum pendidikan bervisi kewirausahaan ini
adalah munculnya generasi muda yang mempunyai jiwa kewirausahaan,
sehingga tidak lagi menggantungkan lapangan pekerjaan yang disediakan
oleh pemerintah. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya pengangguran
di Indonesia. Pertumbuhan wirausahawan muda secara keseluruhan akan
menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih luas
Negara berkembang seperti yang kaya akan potensi sumber daya, baik
alam, budaya, maupun manusia sangat potensial sebagai tempat
mengembangkan kreativitas dan usaha-usaha baru (Anonim[1], 2008). Fakta
bahwa kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah yang membutuhkan
sumber daya manusia yang mampu mengolahnya guna kesejahteraan masyarakat
bangsa dan negara, turut menjadi faktor pendukung berlakunya kurikulum
pendidikan kewirausahaan. Kurikulum ini diharapkan dapat melahirkan
sumber daya manusia yang mampu mengelola dan mengembangkan sumber daya
alam di Indonesia.
Kurikulum pendidikan bervisi kewirausahaan akan mempercepat pertumbuhan
jumlah pengusaha di Indonesia. Menurut Ir Ciputra (pengusaha nasional),
Indonesia butuh 25 tahun untuk mencapai target jumlah pengusaha yang
ideal. Saat ini Indonesia baru memiliki 0,8 persen dari jumlah minimal 2
persen pengusaha dibanding jumlah penduduk ( Reh-Atemalem-Susanti,
2008). Dengan berlakunya kurikulum ini, maka jumlah pengusaha ideal di
Indonesia diharapkan tercapai dalam waktu kurang dari 25 tahun.
Jumat, 02 November 2012