Jumat, 02 November 2012

MEMBANGUN BUDAYA PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN SECARA TERINTEGRASI

0 komentar
Secara tidak sadar mayoritas generasi muda rajin belajar agar segera lulus dan diterima untuk bekerja menjadi pegawai baik negeri maupun swasta. Para pelajar bersusah payah belajar untuk menjadi pintar, untuk menjadi yang terbaik, dan akhirnya akan cepat mendapat pekerjaan. Padahal kebanyakan dari mereka belum dapat memahami apa esensi dari setiap mata pelajaran yang mereka pelajari serta belum dapat memahami bagaimana aplikasi pelajaran yang mereka peroleh selama sekolah untuk bekerja, apalagi untuk mengembangkan diri dan masyarakatnya. Suatu setting yang perlu diperbaiki dari pendidikan kita. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, bila memang pemerintah selalu mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi para lulusan untuk bekerja. Masalah akan muncul ketika para pelajar yang telah lulus atau sarjana di negeri ini mencari pekerjaan, dan tidak mendapatkannya. Jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia semakin lama semakin meningkat, akan tetapi tidak dibarengi oleh munculnya lapangan pekerjaan. Maka yang terjadi adalah semakin tinggi pula angka sarjana pengangguran di Indonesia.
Secara lengkap wirausaha dinyatakan oleh Joseph Schumpeter sebagai orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru (Anonim[4], 2008).
Indonesia membutuhkan orang-orang yang mendobrak sistem ekonomi melalui kegiatan kewirausahaan untuk mengelola sumber daya yang ada di Indonesia untuk kemakmuran diri dan masyarakat di sekitarnya. Untuk mendapatkan generasi muda yang mempunyai semangat kewirausahaan tinggi, maka diperlukan sistem pembinaan kewirausahaan yang tepat. Sistem pembinan itu dimanifestasikan dalam bentuk kurikulum pendidikan yang mempunyai konsep pembelajaran terintegrasi sejak anak didik duduk di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bila anak didik mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi diberikan materi kewirausahaan secara terintegrasi, niscaya generasi masa depan akan berparadigma kewirausahaan pula. Hal ini akan berdampak pada menurunnya tingkat ketergantungan generasi muda untuk mengandalkan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah, sehingga akan berdampak pula pada menurunnya angka pengangguran.
Keadaan diperburuk dengan pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia yang cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik (Razali-Ritonga, 2008). Budaya pendidikan di Indonesia yang bersifat ”guru memberi, murid menerima” atau ”guru memerintahkan, murid melaksanakan” turut mendukung keterpurukan sistem pendidikan. Masalah yang sering terjadi adalah, selama proses belajar mengajar, para guru memotivasi muridnya agar rajin belajar, banyak menghapal, mendapat nilai bagus dalam ulangan, menjadi pintar, agar ketika lulus cepat mendapat pekerjaan . Akibat yang ditimbullkan dari budaya pendidikan yang demikian itu adalah pembentukan karakter siswa yang pasif, tidak dapat mengembangkan pikiran, bermental kuli (mengerjakan sesuatu harus dengan perintah), dan akhirnya ketika lulus dari sekolah berorientasi menjadi pegawai. Ketika visi dan misi telah jelas, sistem telah rampung, dan semua perangkat pendidikan sudah siap, maka pendidikan Indonesia akan memiliki wacana baru masa depan yakni sebagai ujung tombak solusi berbagai permasalahan bangsa ini. Diharapkan keluaran dari pendidikan Indonesia mampu menjadi para solution maker untuk bangsanya, bukan problem maker.
Membangun kurikulum pendidikan yang bervisi kewirausahaan dan menghasilkan luaran yang diharapkan tidak mudah. Menghasilkan luaran yang andal dan dapat diandalkan harus dilakukan secara terintegrasi sejak bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Kemauan dan kemampuan setiap generasi muda harus dibangun dan dilatih dengan konsep pembelajaran yang berkesinambungan. Untuk mecapai hal tersebut konsep pendidikan dan pelaksanaannya dapat diadopsi dari kurikulum-kurikulum terdahulu yang telah dilaksanakan di Indonesia. Konsep pembelajaran Kurikulum Pendidikan bervisi kewirausahaan dapat diadopsi dari kurikulum 1968, yaitu correlated subject curriculum, yang berarti materi pelajaran pada tingkat bawah mempunyai korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan. Pembelajaran kewirausahaan diawali dengan memberikan pengetahuan dasar tentang kewirausahaan di tingkat sekolah dasar yang selanjutnya dikembangkan sesuai tataran pendidikannya.
Pelaksanaanya dapat diadopsi dari kurikulum 1994 yaitu Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Kurikulum tersebut membimbing siswa agar mampu mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Sedangkan luaran yang ingin dicapai dalam Kurikulum Pendidikan Bervisi Kewirausahaan ini dapat diadopsi dari Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu setiap peserta didik mempunyai kompetensi yang standar dan dapat diandalkan oleh pemerintah. Proses untuk mencapai kompetensi itu adalah “learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be”.
Gagasan kurikulum kewirausahaan dipandang menjadi salah satu solusi untuk mengurangi banyaknya pengangguran dan perlu diterapkan di Indonesia, maka pemerintah dapat memilih beberapa alternatif dalam pelaksanaannya. Alternatif yang dapat ditempuh antara lain :
1. Memberikan jam khusus untuk kegiatan kewirausahaan dengan memasukkan kewirausahaan sebagai mata pelajaran wajib yang harus ditempuh.
2. Memberikan hari khusus, yaitu Hari Sabtu untuk kegiatan kewirausahaan.
3. Memasukkan materi kewirausahaan ke beberapa materi pelajaran yang relevan.
4. Menyelenggarakan ekstrakulikuler wajib berupa kewirausahaan di setiap sekolah.
Masing-masing alternatif tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya apabila diaplikasikan, sehingga perlu kajian yang lebih mendalam untuk memilih alternatif terbaik. Sebagai referensi, dapat digunakan kurikulum-kurikulum terdahulu yang pernah berlaku di Indonesia.
Konsekuensi diberlakukannya rencana pembelajaran kurikulum pendidikan kewirausahaan seperti yang telah dikemukakan di atas adalah penurunan jumlah pertemuan bagi mata pelajaran lain setiap minggunya. Hal tersebut justru dapat dipandang sebagai sesuatau yang positif, yaitu untuk menyederhanakan kurikulum mata pelajaran lain, yang dipandang terlalu banyak / kompleks. Kurikulum yang saat ini berlaku di Indonesia (KTSP), disadari atau tidak, banyaknya materi yang harus dikuasai akan menumbuhkan rasa malas bagi siswa untuk bersekolah. Dengan berkurangnya muatan pelajaran yang harus dipelajari anak didik yang selama ini dianggap memberatkan, dan diganti dengan kegiatan kewirausahaan, diharapkan akan mampu menumbuhkan semangat anak untuk bersekolah. Semangat sekolah anak didik yang tinggi, potensial untuk menghasilkan luaran yang baik pula.
Kurikulum pendidikan kewirausahaan akan merubah keadaan Bangsa Indonesia saat ini, di mana kondisi Bangsa Indonesia sudah memiliki terlalu banyak pencari kerja dan terlalu sedikit pencipta kerja. Luaran yang diharapkan dari kurikulum pendidikan bervisi kewirausahaan ini adalah munculnya generasi muda yang mempunyai jiwa kewirausahaan, sehingga tidak lagi menggantungkan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya pengangguran di Indonesia. Pertumbuhan wirausahawan muda secara keseluruhan akan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih luas
Negara berkembang seperti yang kaya akan potensi sumber daya, baik alam, budaya, maupun manusia sangat potensial sebagai tempat mengembangkan kreativitas dan usaha-usaha baru (Anonim[1], 2008). Fakta bahwa kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah yang membutuhkan sumber daya manusia yang mampu mengolahnya guna kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara, turut menjadi faktor pendukung berlakunya kurikulum pendidikan kewirausahaan. Kurikulum ini diharapkan dapat melahirkan sumber daya manusia yang mampu mengelola dan mengembangkan sumber daya alam di Indonesia.
Kurikulum pendidikan bervisi kewirausahaan akan mempercepat pertumbuhan jumlah pengusaha di Indonesia. Menurut Ir Ciputra (pengusaha nasional), Indonesia butuh 25 tahun untuk mencapai target jumlah pengusaha yang ideal. Saat ini Indonesia baru memiliki 0,8 persen dari jumlah minimal 2 persen pengusaha dibanding jumlah penduduk ( Reh-Atemalem-Susanti, 2008). Dengan berlakunya kurikulum ini, maka jumlah pengusaha ideal di Indonesia diharapkan tercapai dalam waktu kurang dari 25 tahun.

Leave a Reply