Terinspirasi dengan tulisan dalam buku Ron Ritchhart Foreword by David Perkins (2002) Intellectual Character What It Is,Why It Matters,and How to Get It
saya lontarkan pertanyaan “Apakah Saudara saat ini memiliki murid
terpandai?” dalam forum diskusi yang diikuti para guru. Semua yang hadir
menyatakan “Ya!”.
Saya meminta para guru menyimpan nama murid terpandai itu di
memorinya. Sejenak kemudian para mereka mendapatkan pertanyaan kedua,
“Mengapa murid itu Saudara nyatakan pandai?”. Jawaban pertanyaan yang
kedua ternyata sangat beragam. Guru-guru menyatakan bahwa murid yang
paling pandai itu “selalu bertanya dengan kata mengapa dan bagaimana”,
“menunjukkan prestasi dalam mengerjakan soal ulangan”, “mampu
mengerjakan tugas dengan cepat dan hasilnya baik” menunjukkan “selalu
ingin tahu” “ disiplin dalam mengerjakan tugas, bertanggung jawab, dan
tepat waktu”.
Forum diskusi selanjutnya saya arahkan untuk mengelaborasi semua
informasi yang terhimpun dan mengindentifikasi sejumlah penanda murid
pandai untuk menjawab pertanyaan berikutnya. “Apa tanda-tanda murid
pandai itu?”. Diskusi berkembang semakin interkatif, berbagai informasi
menarik perhatian seluruh yang hadir, semua yang hadir meminta porsi
berbicara. Terjadi saling meningkatkan pemahaman, pemikiran, dan usaha
untuk lebih mendalami definisi “murid pandai”.
Para guru menyatakan bahwa murid pandai itu memiliki kecerdasan
spiritual, intelektual, emosional yang lebih tinggi daripada murid lain
pada umumnya. Dalam diskusi juga terungkap bahwa sekali pun ketiga jenis
kecerdasan itu siswa miliki, namun guru-guru menyatakan bahwa setiap
siswa memiliki karakter yang khas. Ada yang memiliki kecerdasan
spiritual yang sangat tinggi, namun tidak demikian pada yang
lainnya.Atau, ada siswa yang kadar intelektualnya tinggi namun tidak
pada kecerdasan spiritualnya.
Diskusi itu menarik kesimpulan bahwa pembelajaran mampu memanfaatkan
potensi kecerdasan siswa secara optimal. Agar bisa memanfaatkan itu,
para guru perlu memiliki pemahan yang jelas tentang berbagai karakter
kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, dan sosial yang pendidikan
harapkan. Intinya jelas, setiap guru perlu ciri-cirinya.
Satu hal yang penting ditegaskan dalam diskusi itu, ternyata dalam
praktik pembelajaran di kelas meskipun guru-guru memahami berbagai teori
kecerdasan sesungguhnya proses pembelajaran yang selama ini
dilaksanakan di sekolah belum merefleksikan pentingkan mengembangkan
berbagai unsur kecerdasan. Guru-guru menyatakan bahwa pembelajaran masih
fokus pada peningkatan pengetahuan, siswa belum banyak terlibat dalam
praktik-praktik dalam bentuk aktivitas yang lebih bermakna dalam
mengoptimalkan berbagai kecerdasan.
Di mana kita sekarang?
Seorang Ibu guru sepulang dari kegiatan diskusi melihat-lihat Rencana
Pelaksanaan Pembelajarannya. Sebutlah dia Bu Susi, seorang guru fisika
dari sebuah SMA paling unggul di kotanya memiliki tekad untuk
mengembangkan karakter intelektual siswanya dengan lebih baik. Ia
melihat-lihat RPP yang dibuat bersama dalam kegiatan MGMP. Bu Susi belum
dapat menentukan apakah RPP yang dimilikinya memenuhi daya dukung cukup
untuk mengembangkan karakter intelektual siswanya. Ia berharap dengan
mengubah strategi pembelajarannya mada akan menghasilkan siswa yang
memiliki karakter intelektual yang lebih baik sehingga banyak memiliki
siswa pandai.
Untuk memahami kondisi nyata ia melihat beberapa karakter intelektual
yang diharapkannya. Menurut Faciones dan Sanchez sebagaimana dikutip
Ron (2002) para pemikir kritis memiliki karakteri (1) militan, (2)
berpandangan terbuka, (3) berpikir sistematik (4) analisis (5) berpikir
kritis (6) pencari kebenaran dan (7) percaya diri.
Ennis menyatakan seperti yang dikutip Ron (2002) pemikir yang ideal
memiliki karakter sebagai berikut: (1) memperjelas definisi (2)
menentukan dan memelihara fokus (3) mempertimbangkan situasi (4) mencari
dan memberikan alasan (5) mencari dan menggunakan informasi (6) mencari
alternatif (7) menjaga agar berpikir tepat (8) menyadari keyakinan
sendiri (9) berpikir terbuka atau menerima masukan dari orang lain (10)
menilai bukti yang cukup (11) menentukan posisi (12) menggunakan
kemampuan berpikir kritis.
Yang tidak kalah penting adalah karakter kegairahan seorang
intelektual dalam mencari kebenaran ditandai dengan (1) gairah
mendapatkan kejelasan, kebenaran, dan akurasi (2) semangat untuk
menggali hal yang berlum diketahui (3) simpati terhadap pandangan yang
bertentangan (4) semangat mencari informasi dan bukti-bukti (5) enggan
berkontradiksi, ceroboh, dan tidak konsisten (6) memiliki keranian (7)
berpihak pada kebenaran (8) rendah hati (9) memiliki integritas pribadi
(10) tekun (11) adil (12) selalu memiliki alasan.
Hasil penelaahan yang seksama dengan menyandingkan RPP dengan
sejumlah karakter intelektual, Ibu Susi menyatakan bahwa pembelajaran
yang dirancangnya baru memuat beberapa hal penting, di antaranya siswa
(1) memperjelas definisi (2) mencari informasi dari buku paket yang
tersedia dalam kelas (3) informasi yang tersedia dari internet (4)
mencari dan memberikan alasan (5) berpikir terbuka atau menerima masukan
dari orang lain.
Masih banyak yang selama ini belum ia kembangkan. Oleh karena itu,
ketika Bu Susi masuk kelas ia bekarja sama dengan siswa. Tolong tambah
sumber informasi kita, ayo kita cari sumber informasi, kita buat jurnal,
bekerja tiap hari dalam kelas, selalu siap mengembangkan kebiasaan
berpikir kritis, kebiasaan bekerja rapih, kebiasaan tekun, kebiasaan
menyelesaikan pekerjaan, menjaga mutu pekerjaan tetap baik, dan
kebiasaan tepat waktu.
Pesan utamanya sekarang adalah: ; laksanakan pekerjaan, bekerja sama
dalam kelas, dan terus maju.Jadilah kalian anak-anak pandai.
Untuk apa saya mengajar?
Pandangan Bu Susi tentang mengajar diperbaharuinya. Mengajar pada
prinsipnya untuk memfasilitasi siswa mengemabangkan potensi dirinya agar
menjadi anak pandai. Sebelumnya Bu Susi mengajar tidak untuk membuat
siswa lebih cerdas, namun untuk lebih banyak tahu. Mengajar berarti
meningkatkan penggunakan buku teks, menambah sumber, dan memastikan
bahwa kompetensi siswa memenuhi standar. “Apakah mengajar untuk itu?”
Begitulah ia berpikir.
Kini pikirannya dikembangkan lebih jauh, “Apa artinya mengajar untuk
karakter intelektual?” “ Bagaimana saya bisa memulai proses itu?”
Menjawab tantangan pikirannya yang kritis lalu Bu Susi pun membaca
pemikiran tentang keterampilan belajar. Dari sini Ibu Guru memulai
merumuskan indikator kecerdasan yang ingin dibangunnya. Lalu diubahnya
ke dalam indikator belajar. Ketika indikator belajar tidak lagi dapat
menampungnya, maka Ibu Guru pun mengalihkan perhatiannya pada strategi
mengajar dan manajemen kelas.
Jumat, 02 November 2012