Hidup adalah kompetisi. Begitulah ungkapan yang sering kita dengar
pada setiap kesempatan mengikuti kegiatan motivasi. Ungkapan ini
bertujuan untuk menjelaskan bahwa hidup memang harus saling mengalahkan
untuk menjadi sang pemenang. Namun, ungkapan ini tidak boleh dianggap
sebagai sebuah provokasi agar antarkita saling bermusuhan. Musuh saya
bukanlah Anda. Musuh saya adalah pikiran saya.
Suatu hari, saya menghadiri rapat pleno kenaikan kelas. Waktu itu, saya
menjadi wali kelas. Sebagai wali kelas, itu berarti bahwa saya
menggantikan jabatan orang tuanya di rumah. Karena menjadi orang tua,
saya berkewajiban untuk berusaha maksimal agar semua anak didik yang
menjadi tanggung jawab saya terselamatkan alias naik kelas. Saya
berargumen bahwa meskipun anakku bodoh, dia bersikap santun. Saya
mengakui bahwa dia memang tidak lancar membaca.
Apatah dayaku menghadapi rapat pleno. Sebuah wahana demokrasi yang
mempunyai kekuasaan paling tinggi. Rapat memutuskan bahwa seorang
siswaku harus tinggal kelas alias tidak naik kelas. Saya sedih sekali.
Sangat teramat sedih. Perjuanganku dalam rapat telah gagal untuk
menyelamatkannya. Dan saya berkewajiban menaati keputusan rapat pleno.
Di situlah, pikiranku mulai bergejolak. Bagaimanakah saya harus
menerangkan hasil rapat ini? Sebuah pertempuran pikiran yang harus saya
menangkan.
Untuk mencegah siswaku agar tidak terlalu kecewa, saya memanggilnya
untuk bertemu secara pribadi. Saya memintanya agar menemuiku di ruang
BP. Sebuah tempat yang agak tersisih dari pandangan umum. Lalu, saya
menjelaskan semua hal terkait dengan proses pembelajaran selama saya
menanganinya. Siswaku pun manggut-manggut. Lalu, saya pun mulai
berkisah.
Ketika masih belajar di bangku SMP kelas 2, saya pernah meraih prestasi
sangat jelek. Saya pernah mengalami penurunan prestasi yang luar biasa
jeleknya. Bayangkan, saya mendapat peringkat 33 dari 40 siswa. Sejak SD
hingga SMP, prestasi itu adalah paling buruk. Biasanya, saya mendapat
posisi tiga besar.
Semua ini memang salahku. Ketika itu, saya ikut nenek. Jadi, saya sudah
belajar hidup mandiri yang jauh dari orang tua. Ini disebabkan letak
sekolah dan rumahku lumayan jauh, sekitar 15 km dengan kondisi jalan
yang teramat jelek. Lalu, orang tua menitipkanku kepada nenek.
Kebetulan, sebelah timur rumah nenek adalah toko material bangunan.
Setiap sore, mobil truknya selalu mengambil pasir dari Klaten. Nah,
suatu sore saya ingin ikut mengambil pasir. Dan sopir mengizinkannya.
Maka, jadilah saya bepergian malam. Suatu perjalanan yang belum pernah
saya lakukan sebelumnya.
Ternyata, bepergian malam itu menyenangkan. Karena masih jarang naik
mobil, pengalaman ini benar-benar menyenangkan. Maklum, saya anak
kampung. Terlebih, saya dibelikan mie rebus yang sangat lezat untuk
setiap bepergian. Kondisi itu benar-benar membuatku ketagihan. Maka,
setiap malam pun saya selalu ikut sang sopir itu.
Karena selalu bepergian, praktis setiap malam saya tidak belajar. Saya
berangkat sore dan pulang subuh. Saya tidak mengerjakan PR, tidak
belajar untuk persiapan ulangan, dan selalu mengantuk ketika berada di
kelas. Maka, akibatnya bisa ditebak: nilaiku sangat jelek.
Melihat raihan nilai yang sedemikian jeleknya, orang tuaku marah besar.
Sangat marah. Klimaks dari rasa marah itu adalah disuruhnya saya untuk
laju atau berangkat dari rumah yang berjarak 15 kilometer tersebut. Saya
dibelikan sebuah sepeda angin atau onthel. Itu semata-mata bertujuan
agar belajarku terpantau orang tua.
Ternyata, strategi orang tua tepat. Secara berangsur-angsur, nilaiku
mulai membaik. Meskipun tidak termasuk tiga besar, saya masih meraih
posisi sepuluh besar di akhir bangku SMP. Sebuah prestasi maksimal dari
keterpurukan akibat sikapku sebelumnya. Intinya, pelajaran berharga akan diperoleh ketika kita mendapat pengalaman pahit.
Lalu, saya mulai membuka pembicaraan jika pengalaman pahit itu menimpa
muridku. “Apakah kamu akan pindah sekolah atau tetap bertahan di sekolah
ini?” tanyaku. Dia terlihat ragu-ragu. Dia tidak langsung menjawab.
Justru dia berani bertanya kepadaku, “Kalau Pak Johan pilih mana?”
Sebuah retorika yang sulit dijawab, tetapi harus dijawab. Saya pun
berkata, “Bersekolah di mana-mana itu sama saja. Sekolah favorit tidak
menjamin bahwa kamu menjadi lebih pandai atau berhasil. Lebih baik menjadi gajah di kandang kelinci daripada menjadi gajah di kandang gajah. Prestasimu tidak akan terlihat. Jika mau bersungguh-sungguh di sini, kamu pasti berhasil.”
Mendengar penuturanku itu, siswaku pun berujar, “Saya pilih di sini
saja, Pak.” Jawaban yang tidak pernah saya sangka sebelumnya. Dahulu,
siswa-siswa yang tidak naik kelas selalu minta pindah sekolah. Ternyata,
anakku ini tidak minta pindah alias bertahan. Luar biasa….!
Jumat, 02 November 2012