Pengantar
Perubahan Kurikulum 2006 menjadi
Kurikulum 2013 disikapi berbeda oleh berbagai pihak. Sejauh mana
kurikulum itu mendesak diterapkan di tengah problematika guru dan
infrastruktur pendidikan? Litbang Kompas menyelenggarakan Survei Guru
dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013 untuk melihat sejauh mana
kesenjangan terjadi. Analisis survei akan dipaparkan secara terpisah
dalam 5 tulisan dan diturunkan setiap hari Sabtu dan Senin selama 3
minggu ke depan.
***
Pendidikan
adalah harapan. Rencana penerapan Kurikulum 2013 mekar dengan harapan
itu. Indonesia ditargetkan mampu menjawab tantangan masa depan peradaban
yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Alih-alih menebar
harapan yang sama, penerapan Kurikulum 2013 menuai polemik.
Di atas kertas, muatan idealisme Kurikulum 2013 berjarak dengan realitas praktik pendidikan di daerah.
Kurikulum
2013 bertitik tolak dari gagasan untuk merebut peluang bonus demografi
dalam tiga dekade mendatang. Tujuan kurikulum ini adalah mencetak
generasi 2045 yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab. Dengan pendekatan tematik integratif, kurikulum ini
mengembangkan kompetensi inti sebagai integrator horizontal yang
mengikat keseluruhan mata pelajaran dan jenjang pendidikan sebagai
kesatuan.
Dalam praktiknya di tingkat SD-SMP, kurikulum ini
meleburkan materi sejumlah mata pelajaran ke dalam mata pelajaran lain.
Jumlah mata pelajaran pun berkurang sehingga struktur kurikulum terkesan
padat dan ringkas.
Sebagai strategi pendidikan, Kurikulum 2013
diposisikan sebagai simpul kritis dalam proses konsolidasi demokrasi.
Dalam salah satu artikelnya, Wakil Presiden Boediono memaparkan bahwa
pendidikan merupakan kunci pembangunan penentu kemajuan bangsa (Kompas,
27/8/2012). Rumusan kurikulum baru ini memang terinspirasi dari
pengalaman Amerika Serikat yang menempatkan institusi pendidikan sebagai
pilar utama demokrasi.
Secara substantif, gagasan ini menempatkan
anak didik dalam dua sisi peran, yakni sebagai warga negara penopang
sistem demokrasi sekaligus sumber daya manusia pemutar sistem ekonomi.
Pendidikan umum membekali anak didik dengan sikap dan keterampilan dasar
(soft skills) untuk berkarya menjadi warga negara negara yang baik.
Sementara itu, pendidikan khusus memberikan kemampuan siap kerja (hard
skills) di bidang-bidang tertentu.
Pemerintah juga mempersiapkan
strategi demi kesesuaian antara kurikulum baru ini dengan latar belakang
guru yang beragam. Terdapat tiga unsur pendukung pelaksanaan, yakni
ketersediaan buku sebagai panduan bahan ajar dan sumber belajar,
penguatan peran pemerintah daerah dalam pembinaan dan pengawasan, dan
penguatan manajemen budaya sekolah.
Saat ini, tengah dibentuk tim
utama yang terdiri dari guru-guru inti sebagai ujung tombak pelaksanaan
kurikulum baru di lapangan.
Berjarak dengan realitas
Namun,
tampaknya jurus di atas masih kuat di atas kertas. Relevansi kebijakan
pendidikan nasional di satu sisi dengan kondisi infrastruktur pendidikan
di sisi lain menjadi tema sentral dalam Survei Kompas mengenai Guru dan
Kualitas Pendidikan Nasional 2013. Survei ini menjaring opini 512 guru
dari SD dan SMP negeri dan swasta di delapan ibu kota provinsi.
Hasilnya,
secara garis besar kebijakan pemerintah di bidang pendidikan merupakan
hal yang relatif ketika dihadapkan pada kemampuan guru di daerah.
Sejumlah
kebijakan, seperti penyediaan sarana dan prasarana sekolah, perubahan
kurikulum dari masa ke masa, sertifikasi guru, dan standardisasi ujian
nasional, merupakan kebijakan makro yang manfaatnya berjarak dengan
praktik pendidikan dalam keseharian guru dan murid. Sertifikasi guru,
misalnya, tidak menyentuh langsung aspek kemampuan dan karakter
individual guru. Sebagian besar guru dinilai masih bertipe mediocre yang
cenderung memiliki keterbatasan dalam pengayaan materi dan metode
pengajaran. Peran guru pun sebatas pelaksana kurikulum, bagian dari
birokrasi pendidikan.
Kondisi ini menyebabkan Kurikulum 2013
menjadi problematik dalam pelaksanaannya mengingat kurikulum ini
mensyaratkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) yang
memadai. Apalagi, guru memperlihatkan orientasi nilai yang kompleks,
dengan kontinum pemahaman beragam, yakni konservatif dalam nilai
keagamaan di satu sisi, namun liberal dalam pemahaman pendidikan.
Menjelang
dua bulan pelaksanaan, sosialisasi Kurikulum 2013 masih kedodoran di
lapangan. Survei memperlihatkan sosialisasi masih sangat minim di
sejumlah wilayah. Sosialisasi baru sebatas formalitas pada SD-SMP
favorit papan atas di wilayah perkotaan. Itu pun tidak mampu menjamin
pemahaman yang optimal terhadap Kurikulum 2013.
Padahal, perubahan
kurikulum ini membutuhkan perubahan paradigma berpikir guru terkait
pendekatan dan teknik pengajaran, terutama pada mata pelajaran yang
terintegrasi, seperti IPA, IPS, dan Bahasa. Selain itu, perubahan
struktur kurikulum juga memunculkan sejumlah persoalan teknis seperti
jam mengajar per minggu guru sertifikasi yang tidak terpenuhi dan
kelebihan tenaga guru akibat sejumlah mata pelajaran dihilangkan.
Idealnya,
Kurikulum 2013 diikuti dengan pelatihan guru agar idealisme baru dapat
tertangkap lebih utuh dan dilaksanakan optimal. Kemampuan pengajaran
para guru saat ini masih merupakan hasil dari pendidikan tinggi keguruan
yang mengacu pada kurikulum lama, yakni guru di tingkat SD dididik
untuk menguasai berbagai bidang yang diajarkan di tingkat SD. Sementara
itu, guru SMP diarahkan untuk memiliki kebidangan.
Kebingungan
teknis semacam itu mencerminkan bahwa perubahan kurikulum perlu
dilakukan secara bertahap. Kontroversi yang berkembang seputar Kurikulum
2013 selama ini tidak terlepas dari perbedaan pandangan antara
pemerintah sebagai penentu kebijakan di tingkat pusat dan kesiapan guru
sebagai pelaksana di daerah yang memiliki kemampuan berbeda-beda.
Bingkai demokratisasi
Saat
ini, pemerintah telah menurunkan target implementasi Kurikulum 2013.
Pada tingkat SD dari 30 persen menjadi 5 persen, jenjang SMP dari 20
persen menjadi 7 persen. Kurikulum baru diterapkan di kelas I dan IV di
tingkat SD dan kelas VII di jenjang SMP. Adapun di tingkat SMA/SMK tetap
100 persen di kelas X, artinya diterapkan di 11.572 SMA dan 10.685 SMK
di seluruh Indonesia.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya,
penetapan Kurikulum 2013 adalah perubahan kurikulum yang ketiga kali
sejak masa reformasi 1998. Secara substansial, belum terlihat visi yang
hendak dicapai terkait dengan bingkai demokratisasi. Sekolah masih
bergulat mempersoalkan teknis standardisasi dan evaluasi hasil
pendidikan. Persoalan inilah yang harus dijernihkan dulu supaya
Kurikulum 2013 itu tidak sekadar menjadi macan kertas.